Pengantar
Jauh di lubuk hati saya, di awal-awal bekerja sebagai terapis wicara, ketika telah lebih sering berinteraksi dengan mereka, saya memiliki “insight” yang lebih tepat disebut “kekhawatiran” tentang “masa depan jangka panjang mereka”. Yang terdekat tentu saja, masa remaja, jikalau membahas masa dewasa terlalu panjang. Anak-anak yang saya maksud terutama adalah anak yang memiliki “isu perilaku”, dan/atau isu kognisi sosial. Dan yang saya kecualikan adalah anak dengan karakteristik ASD (Autistic Spectrum Disorders). Karena untuk anak ASD sudah lebih banyak sumber informasi yang bisa diakses masayarakat.
Salah satu anak dengan “isu perilaku” dan kognisi sosial adalah anak dengan Attention Deficit Disorder/Attention Deficit Hyperactive Disorder atau yang lebih dikenal dengan penyebutan singkatnya yaitu ADD/ADHD. Saya membayangkan bagaimana “struggle”-nya mereka mengatasi dirinya sendiri di kemudian hari ketika mereka lebih besar. Ketika orang di sekeliling mereka kurang memahami perilaku mereka ataupun saat mereka sendiri kurang memahami diri mereka sendiri. Maka dalam hal ini edukasi dan advokasi diperlukan, baik edukasi/advokasi diri maupun edukasi/advokasi lingkungan (masyarakat).
Ini adalah salah satu artikel yang saya temukan dalam sebuah buku, lalu saya searching ulang melalui situs jurnal yang memang bisa diandalkan, untuk meyakinkan diri saya bahwa informasi yang saya temukan di dalam buku tersebut, memang sebagaimana laporan penelitiannya. Jadi, wahai (sesama) orang tua, teman-teman sejawat (jika ikut membaca ini) kita tidak tersesat dalam lautan opini yang campur aduk, hehe.
Penafian (disclaimer)
Ini adalah rangkuman pembacaan saya atau lebih tepatnya translasi dari sumber literasi resmi yang saya simpan sebagai bahan belajar. Terkadang translasi keseluruhan mirip dengan sumber aslinya; terkadang saya parafrase sendiri sesuai pemahaman saya.
Artikel asli dapat dibuka pada laman:
ADHD Symptoms Persist For Most Young Children Despite Treatment (elsevier.com)
The article “Preschool Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder Treatment Study (PATS) 6-Year Follow-Up” by Mark A. Riddle, Kseniya Yershova, Deborah Lazzaretto, Natalya Paykina, Gayane Yenokyan, Laurence Greenhill, Howard Abikoff, Benedetto Vitiello, Tim Wigal, James T. McCracken, Scott H. Kollins, Desiree W. Murray, Sharon Wigal, Elizabeth Kastelic, James J. McGough, Susan dosReis, Audrey Bauzó-Rosario, Annamarie Stehli, Kelly Posner, (https://dx.doi.org/10.1016/j.jaac.2012.12.007) appears in the Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, Volume 52, Issue 3 (March 2013), published by Elsevier.
Sebuah studi yang dipublikasi pada Maret 2013 di Washington D.C., pada Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry menemukan bahwa 9 dari 10 anak dengan ADHD derajat ringan s/d berat menunjukkan gejala dan impairment yang serius s/d berat jauh melebihi waktu diagnosis awal, dan dalam banyak kasus, meskipun menjalani treatment. “ADHD menjadi diagnosis yang lebih umum pada anak usia dini, jadi memahami bagaimana gangguan tersebut berkembang pada kelompok usia ini sangat penting,” demikian dikatakan peneliti utama Mark Riddle, M.D., seorang psikiater anak di John Hopkins Children’s Center. “Kami menemukan bahwa ADHD pada anak-anak prasekolah adalah kondisi kronis dan agak persisten, yang memerlukan perawatan perilaku dan farmakologis jangka panjang yang lebih baik daripada yang kita miliki saat ini,” lanjutnya.
Studi menunjukkan bahwa hampir 90 persen dari 186 anak muda yang ikut dalam studi terus berjuang mengatasi gejala ADHD enam tahun setelah diagnosis; anak-anak yang mendapatkan medikamentosa memiliki gejala yang sama beratnya dengan anak yang tidak mendapatkan medikamentosa.
Anak-anak dengan ADHD, usia 3 – 5 tahun, terdaftar dalam penelitian dan dirawat selama beberapa bulan, setelah itu mereka dirujuk ke dokter anak komunitas untuk perawatan lebih berkelanjutan. Selama enam tahun berikutnya, peneliti menggunakan laporan terperinci dari orang tua dan guru untuk melacak perilaku anak, performa di sekolah, serta frekuensi dan derajat keparahan dari tiga gejala khas ADHD (inatensi, hiperaktivitas, dan impulsivitas). Selain itu anak-anak menjalani pemeriksaan diagnostik lengkap oleh dokter peneliti di awal, pertengahan penelitian, dan akhir penelitian.
Dari hasil studi menunjukkan bahwa skor keparahan gejala tidak berbeda secara signifikan antara lebih dari 2/3 anak yang mendapatkan medikasi dan yang tidak mendapatkan medikasi. Secara spesifik, 62 persen anak yang mendapatkan obat (medikasi) memiliki hiperaktivitas dan impulsivitas yang signifikan secara klinis, dibandingkan dengan 58 persen anak yang tidak mendapatkan medikasi. Dan 65 persen anak yang mendapatkan medikasi memiliki inatensi yang signifikan secara klinis, dibandingkan dengan 62 persen anak yang tidak mendapatkan medikasi. Namun dalam hal ini, para peneliti mengingatkan bahwa masih belum diketahui dengan jelas apakah medikasi yang tidak efektif ini disebabkan oleh pemilihan obat atau penentuan dosis yang tidak optimal, kurangnya disiplin dalam mematuhi jadwal makan obat, ketidakefektifan obat itu sendiri, atau beberapa alasan lainnya. Riddle menjelaskan, “studi kami tidak didesain untuk menjawab pertanyaan itu, namun apapun alasan yang mungkin ada, adalah mengkhawatirkan bahwa anak dengan ADHD meskipun ditangani dengan medikasi, tetap terus memiliki gejala ADHD-nya, dan apa yang kita perlu temukan adalah mengapa itu terjadi dan bagaimana kita bisa melakukan yang lebih baik.”
Anak-anak ADHD yang juga (komorbid) memiliki perilaku defian oposisi atau conduct disorder, meiliki 30 persen kemungkinan mengalami gejala ADHD yang persisten selama enam tahun setelah diagnosis, dibandingkan dengan anak-anak yang didiagnosis tunggal hanya ADHD. Riddle menambahkan, “ADHD dianggap sebagai kondisi neurobehavioral dan ditandai dengan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, gelisah (restlesttness), serta memiliki hiperaktivitas dan impulsivitas, dan dapat memiliki efek mendalam dan tahan lama pada perkembangan intelektual dan emosional anak. Hal ini dapat berdampak pada performa pembelajaran akademik, relasi dengan keluarga dan teman sebaya, dan bahkan keamanan fisikal. Studi terdahulu menemukan bahwa anak dengan ADHD memiliki tingkat resiko yang tinggi terjadinya kecelakaan dan rawat inap.” Menurut para peneliti, lebih dari 7 persen anak-anak di Amerika saat ini dirawat karena ADHD, dan beban ekonomi dari kondisi tersebut diperkirakan antara 36 – 52 miliar per tahun.
Demikian pembacaannya,
Semoga bermanfaat
Pipit.2022