Kenali Tanda-tanda Potensial Masalah Perkembangan (01)

Ini adalah kumpulan resume dari perjalanan saya memahami anak saya yang mengalami gangguan perkembangan, dan kumpulan kebodohan (ketidaktahuan) saya sebagai orang tua—yang tidak sekolah parenting—sekaligus sebagai terapis wicara. Damn! Saya tidak bisa berdoa agar waktu diputar ke belakang untuk memperbaiki kelalaian saya, karena do’a seperti itu adalah “dosa”. Dan untuk mengobati rasa bersalah saya, setidaknya tulisan ini semoga bisa “memberi inspirasi” agar orangtua newbie seperti saya, bisa mempercepat proses open mind dan keluasan wawasannya, demi efisiensi pengasuhan untuk anak-anak seperti anak saya.

 

Nah, ini dia!

Sejak Iwang bayi lebih dari 8 tahun yang lalu, seingat yang bisa saya ingat soal perilaku khas-nya adalah:

  1. Sejak bayi baru lahir sampai dengan umur 3 bulan, sepertinya Iwang cenderung ke bayi yang jarang menangis, tidak mudah rewel, kalau pun terbangun karena lapar atau pipis dia hanya usek-usek tapi tidak nangis seperti bayi pada umumnya. Saya memang terapis wicara dari sebelum punya anak. Sungguh menggelikan, atau bahkan memalukan, bahwa saya tidak benar-benar tahu kalau karakter tangisan anak saya adalah pertanda ada sistem dalam tubuhnya yang tidak pada tempatnya.
  2. Hampir tidak ada memori di kepala saya tentang Iwang yang nangis yang lama, rewel atau heboh. Dia benar-benar “bayi yang mudah diurus”. Nada menangisnya monoton dan pendek atau sesaat saja, jika dibiarkan supaya nangis lebih lama, Iwang hanya jadi berhenti menangis dan usek-usek seperti gelisah. Bisa saja hal ini akibat dari karakter hipotonus/hiposensitif yang mengakibatkan otot kendor dan tenaga lemah, sehingga tidak sanggup menangis lebih lama, sehingga respon tidak nyamannya hanya disampaikan dalam bentuk usek-usek minimal.
  3. Sampai umur 3 bulan, jari tangan dan kakinya masih menggenggam (suatu ciri keterlambatan pematangan sistem sensomotorik), yang di masa itu saya tidak tahu, sehingga respon dominan saya adalah klasik yaitu “menunggu, mungkin belum”. Damn! Sungguh memalukan saya tidak tahu bahwa ini adalah tanda lain dari adanya potensi keterlambatan motorik/sensorik.
  4. Iwang lebih nyenyak jika tidur dalam pangkuan, dan terus mouthing breasfeeding (ngempeng ke emak), sulit dilepaskan. Saat ini saya bisa punya asumsi dengan lebih meyakinkan bahwa perilaku tersebut, bisa jadi tanda dari “tidak kenyang” karena lidahnya kurang mampu memompa ASI dengan efektif. Iwang memiliki tongue tie (TT) tipe moderat. Dan bisa jadi TT memberi kontribusi padanya yang mengakibatkan perutnya kembung karena selain ASI yang terpompa sedikit juga kemampuan menelannya menjadi “ngambang” sehingga lebih banyak udara tertelan sebelum merasa kenyang oleh ASI.
  5. Nah, soal tidurnya yang lebih nyenyak dalam pangkuan, mungkin saja akibat hipotonus/hiposensitif sehingga dalam pangkuan, lebih memberikan stimulasi neuro/senso/motorik dibandingkan di atas tempat tidur. Seperti dari dekapan itu sendiri, atau bahkan suara nafas dan suhu hangat dari orang yang menggendongnya sehingga rasa nyaman senso/motorik lebih tercukupi.
  6. Hal lain yang sangat khas saat umur < 1 bulan adalah perutnya yang hampir setiap hari kembung. Beberapa upaya untuk menghilangkan kembungnya dilakukan, tetapi masih terus saja terjadi, bisa dibilang hampir tiap hari perutnya kembung. Dahulu (2011) saya menganggap kembung ini hal yang biasa saja, bukan hal yang serius banget. Namun sejak 2014 Iwang demam hampir setiap bulan, sehingga saya “terpaksa” mencari tahu secara medis lewat jalur resmi seperti dokter/rumah sakit, dan mbah google sebagai pelengkap saja. Dan ternyata kembung bisa jadi tanda yang sangat serius.
  7. Namun sejak 2015 saya mulai memiliki asumsi bahwa masalah kembungnya akibat dari “ususnya yang steril dari mikrobiom” karena Iwang dilahirkan dengan operasi Sectio Caesaria (SC). Mengapa saya berasumsi ususnya steril? Itu karena “aksi nekat” saya membaca sumber lain secara “serabutan”, tidak fanatik pada satu sumber.

Inilah beberapa momen dalam hidup saya yang mengakibatkan sekarang saya lebih ke “lebih cepat lebih baik”, jangan menunggu lagi jika mampu, nanti jalannya dimampukan. Jika di umur kecil sudah menunjukkan tanda2 keterlambatan, bagi saya “lebih cepat teridentifikasi lebih baik”. Treatment-nya tidak selalu harus di pusat terapi, mungkin bisa sekedar konsultasi atau ngobrol dengan sumber yang tepat*, dan diberikan saran tentang yang bisa dilakukan di rumah agar tugas perkembangan terselesaikan sesuai tenggat waktu, bukan ditunggu seperti nasihat orang tua kita dahulu. Karena dahulu dan sekarang sudah sangat jauh berbeda (sebut saja) secara cuaca/polusi, fasilitas lingkungan untuk bermain, dan kesibukan orang zaman now dengan zaman old, jenis makanan yang dikonsumsi, dll.

*yang saya maksud dengan sumber yang tepat adalah “ikuti instingnya”. Jika anda merasa tidak puas dengan jawaban seseorang, maka terus cari dan temukan jawaban yang “pas di hati anda”. Tentu dengan mengesampingkan emosi terlebih dahulu. Gunakan rasio saja dalam mengumpulkan informasi/jawaban. Lalu saring dengan “insting” sebagai pengasuh utama. Itu hanya “saran” dari saya saja. Setidaknya dari sekitar >30 emak-emak yang memiliki anak IBK yang saya survey, 60% mengikuti perasaannya tentang “menemukan jawaban yang cocok di hati”, meskipun berkali-kali orang-orang di sekitar atau bahkan konsultan kesehatan sekali pun mengatakan bahwa “anak ibu baik-baik saja; itu biasa; enggak apa-apa kok; dst.”

Good luck.

 

Nah, segitu dulu yaa, sedikit-sedikit asal membuka informasi, hehe.

Salaam,

Pipit.2019

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll to top
WhatsApp Chat with Us