TONGUE TIE dan LIP TIE Iwang #2

Mendengarkan ceramah Senin, 13 Mei 2019 dari Lori Overland, M.S., CCC-SLP., NDT, mengenai Functional Assessment and Remediation of Tethered Oral Tissues (TOTs). Pada hari tersebut saya menggunakan kesempatan yang ada untuk bertanya dan memperjelas situasi Iwang: apakah perlu dilakukan pemotongan tongue-tie (TT) dan lip tie (LP) atau tidak. Lori menegaskan bahwa secara etika (profesi) dia tidak bisa memutuskan tindakan tersebut, tetapi dia lebih dari sekali menegaskan bahwa “after this, you may change your mind”.

—00— Ajibnya, Lori benar. Saat ini 7 bulan setelah pertemuan itu —00—

 

PERHATIAN: Tulisan ini bukan untuk menggantikan proses pemeriksaan dengan tenaga kesehatan yang berkompeten di bidangnya, yaaa. Tulisan ini hanya untuk alternatif informasi bagi siapapun, khususnya emak2 yang mencari informasi buat anaknya, karena saya juga demikian, mbah Google sering jadi pilihan untuk cari-cari dan pilih-pilih info.  

Dan saya menggunakan istilah2 dalam bahasa Inggris, untuk menghindari kerancuan dalam mentranslasi, supaya esensi maknanya tetap, yaa sekedar menghindari salah-translasi.

Oke, lanjut!

 

Pembukaan

Jadi, kesepakatan umum yang dikenal oleh (cukup banyak) tenaga kesehatan mengenai TT adalah bahwa TT tidak mempengaruhi bicara masih sangat popular. Setidaknya ini yang paling sering saya dengar baik dari bertanya langsung dengan tenaga kesehatan tersebut atau pertukaran informasi yang saya peroleh dari sesama orang tua dan rekan sejawat. Dan dari hasil penelitian-penelitian yang diulas oleh Bernthal & Bankson (1981) pun menyebutkan hal yang kurang lebih mirip, bahwa deviasi organik dari lidah atau struktur oral lainnya tidak memainkan peran penting dalam kasus-kasus anak yang mengalami gangguan bunyi bicara (defective phonemes).

Dulu (sebelum Mei 2019) saya pun demikian. Tetapi perkembangan bicara Iwang yang tidak memuaskan memaksa saya untuk mencari informasi lain. Dan saya menjadi menemukan kosakata-kosakata baru dalam dunia oral yang ternyata dibahas oleh tenaga kesehatan lain, seperti dokter gigi, konsultan ASI, spesialis THT, ahli bedah, ahli tidur, dan ahli lainnya di belahan dunia lain, dan, saya sebagai terapis wicara tentu perlu belajar tentang hal ini lebih lanjut. Meskipun dalam situasi saya, hanyalah sebagai pembaca hasil penelitian orang lain, itu pun kalau sempat baca.

Salah satu jurnal dalam tulisan ini, yang disusun oleh dokter Asti Praborini, dkk yang juga telah dipresentasikan dalam sebuah konferensi internasional IATP pada tahun 2017 di Colorado alias The International Affiliation of Tongue-Tie Professionals. Gaes, berarti ini konferensi khusus membahas tentang tongue-tie, TT, dari seluruh penjuru dunia.

Secara instingtif, saya sebagai terapis wicara diam-diam setuju bahwa pergerakan lidah yang menjadi terbatas akibat adanya TT “berpotensi tinggi” menghambat perkembangan artikulasi yang sedikit banyak akan memicu efek domino terhadap perkembangan bicara dalam berbagai bentuk yang mungkin berbeda-beda. Mengapa? Karena bicara (speech) adalah sistem (Bernthal & Bankson, 2003, hal. 1) yang menghubungkan makna (melalui penggunaan bahasa) dan bunyi bicara (speech). Dan organ bicara yang merupakan sub-sistem dari bunyi bicara antara lain lidah (ingin tahu bagaimana mekanisme bicara, silahkan baca Mekanisme Bicara).

Lidah adalah artikulator utama dalam kavum oral yang berupa sekelompok otot yang rumit. Lidah mampu bergerak sedemikian rupa menjadi bentuk dan posisioning yang berbeda-beda dalam rangka memproduksi bunyi bicara vokal maupun konsonan. Dalam ranah artikulasi, lidah dibagi menjadi 5 bagian, yaitu: the tip or apex, the blade, the back or dorsum, the root and the body (Bernthal & Bankson, 2003, hal. 7).

Dari kemampuan lidah yang berubah bentuk dan posisioning ini saja, saya membayangkan bahwa sangat mungkin pergerakan lidah menjadi terbatas gara-gara TT, yang tentu bisa membatasi perubahan bentuk lidah dan posisioning sehingga sangat mungkin terjadi kompensasi gerakan. Nah, perkara kompensasi gerakan ini, dalam jangka panjang dapat mempengaruhi kesehatan. Mengapa? Karena pada dasarnya gerakan kompensasi termasuk gerakan yang tidak fungsional (abnormal), sehingga memerlukan energi yang lebih banyak dibandingkan gerak fungsional (normal). Dan inilah salah satu yang mencuri perhatian saya. Mungkin sulit bagi kita membayangkan kompensasi gerak pada lidah/mulut dapat membahayakan kesehatan. Mulanya, saya pun demikian.

Supaya lebih mudah, kita gunakan imajinasi kompensasi gerak pada otot yang besar sebagai analogi. Misalnya pada insan stroke yang mengalami permasalahan gerak pada salah satu sisi tubuhnya yang mengalami penurunan sehingga gerakan yang dilakukan menjadi sulit dan dengan pola yang tidak normal. Yang dapat berupa kompensasi pelvic ke arah atas (mengangkat paha berlebihan) atau terbentuknya gerak memutar pada tungkai saat melakukan aktivitas berjalan. Secara normal (fisiologis) gerakan dengan pola tidak normal berarti pula gerakan yang tidak fungsional, maka untuk melakukan gerakan tersebut dibutuhkan energi yang lebih. Dengan kata lain secara normatif (bagi individu tanpa gangguan neurologis) gerakan tersebut pada dasarnya adalah gerakan yang sulit untuk dilakukan apalagi bagi insan stroke.5

Sehingga, perasaan diam-diam saya yang menyetujui perkara TT ini, harus saya tindak lanjuti dengan mencari informasi terkini. Saya masih kesulitan membaca jurnal-jurnal penelitian, amsyong yayang, deh! Sehingga saya lebih memilih membaca artikel atau buku yang ditulis oleh penulis yang memang sudah saya ketahui sebelumnya.

Nah, ini beberapa hasil pencarian informasi yang saya lakukan dalam rangka memahami TT dan rujukan untuk saya dalam mengambil keputusan terhadap kondisi Iwang.

  1. Sebuah konklusi dalam ulasan jurnal oleh Webb, Hao & Hong (2013) yang mengumpulkan penelitian-penelitian antara tahun 1966 s/d Juni 2012, disebutkan bahwa tidak ada data yang signifikan yang bisa digunakan untuk menyarankan adanya hubungan kausatif antara ankyloglossia (sebutan lain untuk TT) dan permasalahan artikulasi (speech articulation).

Ini juga merupakan pendapat yang saya temui di belantara Jakarta, hihi. Karena memang belum banyaknya penelitian mengenai TT terkait dengan artikulasi, setidaknya sampai dengan ulasan Webb, Hao & Hong (2013) ini. Dan juga berdasarkan jawaban dari rekan sejawat saya yang sering saya jadikan sumber informasi ter-update saat itu (akhir 2012).

Penjelasan lebih lanjut mengenai jurnal ini, sbb:

Dari 378 abstrak, hanya 20 yang memenuhi kriteria untuk dilakukan ekstraksi data dan analisis. Skor LATCH (tiga studi); indeks SF-MPQ (dua studi); IBFAT (satu studi); milk production and feeding characteristics (3 studi); dan infant weight gain (1 studi). Perbaikan subjektif juga turut dilaporkan dalam maternal perception of breastfeeding (14 studi), dan maternal pain scores (empat studi). Tidak ada satu pun studi yang menyebutkan adanya perbaikan pasti dalam fungsi wicara. Dalam ulasan ini juga disebutkan adanya kejadian berupa TT berulang (terjadi pelekatan kembali) sehingga membutuhkan pengulangan prosedur.

  1. Dalam sebuah studi cohort retrospective yang dilakukan oleh dokter Asti Praborini, dkk disimpulkan bahwa frenotomi dapat meningkatkan pertambahan berat badan terhadap semua bayi yang menjadi subjek penelitian tanpa dibedakan jenis/derajat TT (p=0,001). Tetapi pertambahan berat badan dengan rata-rata yang lebih besar dicapai pada bayi yang menjalani Frenotomi awal (bayi berumur < 8 hari) dibandingkan dengan bayi yang menjalani Frenotomi pada umur > 8 hari (p=0,002).
  2. Istilah TT atau ankyloglossia bukanlah hal baru, di buku-buku sebelum tahun 1990 pun sudah ada. Sekitar 3 persen bayi lahir dengan tongue-tie (Amir, James, & Donath, 2006).4
  3. Yang menarik perhatian saya adalah, tema mengenai TT ini menjadi bahasan yang semakin populer karena sebuah penelitian yang menemukan bahwa sleep apnea berhubungan dengan tali lidah pendek (Huang, Quo, Berkowski, & Guilleminault, 2015).4

Mengapa? Karena Iwang menunjukkan kondisi sleep apnea, yang persisnya sejak kapan saya tidak tahu, tetapi sejak 2013 atau 2014 awal saya sudah merasakan insight tsb, tetapi baru saya tindak lanjuti berupa mencari informasi lebih lanjut di 2015, dan baru sejak tahun 2017 awal (umur 5 ½ tahun) saya melakukan observasi dan treatment tentang apnea ini.

  1. Selebihnya, adalah informasi-informasi yang berhubungan dengan apakah ada efek smaping mengenai jenis tindakan operasi pemotongan tali lidah dengan beberapa jenis teknologinya. Namun untuk informasi ini saya tidak bisa bercerita lebih lanjut karena keterbatasan pemahaman saya.

 

Nah, demikianlah diantara informasi-informasi yang menjadi dasar pengambilan keputusan mengenai Frenotomi Iwang. Semoga bisa membantu menambah referensi wawasannya yaa.

 

Salaam,

Pipit-Thepita

@TerapiWicara

 

Sumber Bacaan

  1. Webb, Amanda N. Hao, Weibo. Hong, Paul. (2013). The Effect of tongue-tie division on breastfeeding and speech articulation: A systematic review. International Journal of Pediatric otorhinolaryngology. Volume 77, Issue 5, 635 – 646. https://doi.org/10.1016/j.ijporl.2013.03.08
  2. Praborini, Asti. MD, IBCLC. Purnamasari, Hani, MD. Munandar, Agusnawati, MD, IBCLC. Wulandari, Ratih Ayu, MD, IBCLC. (2015). Early Frenotomy Improves Breastfeeding Outcomes for Tongue-Tied Infants. United States Lactation Consultant Association 9 Clinical Lactation, 6(1), http://dx.doi.org/10.1891/2158-0782.6.1.9
  3. Gelb, Michael, DDS, MS & Hindin, Howard, DDS. GASP; Airway health the hidden path to wellness.
  4. Merkel-Walsh, Robyn, MA,CCC-SLP & Overland, Lori L., MS, CCC-SLP, C/NDT, CLC. (2018). Functional assessment and remediation of tethered oral tissues TOTs. First Edition. Talktools.
  5. Lesmana, Syahmirza Indra, SKM, S.Ft, M.OR. Irfan, Muhammad, SKM, S.Ft, M.Fis. Meidian, Abdul Chalik, SAP, M.Fis. (2013). Modul Praktikum: Terapi Latihan. https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Course-945-6.Modul%20praktek%20terapi%20latihan.pdf

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll to top
WhatsApp Chat with Us