Apa yang saya lakukan dalam menentukan aktivitas untuk anak saya

Sedikit cerita tentang anak Saya:

Fffhhh, jadi,

selama pandemik ini, seperti musim panen bagi saya melihat beberapa perkembangan di anak saya yang sebelumnya, terutama dalam 2 tahun sebelumnya (2017 – 2019) “hampir mustahil bagi saya mencapai titik saat ini”. Yes! frase tersebut memang hiperbola. Tetapi mungkin itu bisa mengabadikan dan mengingatkan saya tentang momen progress tersebut.

Area motorik kasar, motorik halus, dan bahasa/wicara, adalah area yang selalu dilatihkan kepada anak saya sejak usia 20 bu

lan. Emaknya terapis, kebangetan kalau saya tidak memberikan itu untuk anak saya, tho! Dengan progress yang dalam situasi tertentu saya beri angka untuk memudahkan saya dalam menilai progress anak saya. Sebutlah, tingkat kepuasan saya terhadap progress anak saya sebelum tahun 2019 (usia 8 tahun) saya beri skor 20 – 30 paling tinggi 40 poin, dari skala 100 poin. Gap perkembangannya saat 2019 lebih dari setengah usianya, kalender 8 tahun, skill bahasa/wicara paling tinggi 3 tahun. Yang ada di kepala saya adalah gap usia ini akan semakin melebar.

Apa yang saya lakukan? saya memutari jalan pikiran saya dan mengikuti insting/feeling atau apapun anda menyebut “peras

aan” terdalam tersebut saat berada dalam situasi yang “mengancam” atau tidak menyenangkan atau frustrasi. Saya mengevaluasi semuanya, saya tentukan prioritas lagi. Prioritas di sini lebih kepada aspek mendasar dan umum. Apakah yang paling prioritas: terapi, atau sekolah, atau kesehatan, dst.

Prioritas aspek yang pertama sampai dengan saat tulisan ini saya selesaikan (Mei 2021), bagi saya (terhadap anak saya) adalah kesehatannya (Anda yang kenal kami tentu paham maksud saya). Yang kedua bagi anak saya adalah terapi, sehingga meskipun aktivitas terapi berada pada urutan kedua, namun tidak boleh berlawanan dengan prioritas kesehatannya. Jika aktivitas terapi membahayakan kesehatan, maka aktivitas tersebut akan saya ganti/sesuaikan lagi.

Kedua, saya menggunakan istilah pohon untuk menggambarkan bagaimana sistem perkembangan manusia bekerja. Yang saya sasar adalah bahasa/wicara, dan bahasa/wicara adalah bunga/buah dari sebuah pohon. Motorik halus adalah dahan

pohon, motorik kasar adalah batang pohon, dan sistem yang menumbuhkan batang dan dahan adalah akar. Akar adalah tiga sistem indera yang pertama berkembang. Anda pasti sudah sering mendengarnya: vestibular, taktil luar (dan taktil dalam), dan proprioseptif.

Saya “sangat percaya” bahwa jika akar tidak optimal hampir bisa mengganggu keseluruhan. Saya ulangi pernyataan saya kepada Anda, wahai para Ortus, ini adalah opini pribadi saya dan yang saya lalui. Saya sering menyelipkan pesan sponsor saat kita diskusi: please, jangan percaya saya; cari informasi sebanyak2nya; dan gunakan “insting/feeling” Anda sendiri yang terus dipupuk dengan pikiran yang lebih terbuka. Apapun yang Anda putuskan haruslah sesuatu yang Anda pahami dan Anda setujui.

Yang ketiga: tentukan aktivitas terapi dasar dan penunjang yang dibutuhkan oleh anak kita. Aktivitas dasar ditentukan dari skill yang dikuasai saat ini. Meskipun anak saya waktu itu usia 8 tahun, secara motorik kasar dia masih setara anak usia 3 tahun, diantaranya sebutlah dia masih belum bisa lari. Maka kegiatan lari menjadi bagian dari proses terapinya. Bukan berarti saya ajak maraton lho, ya. Tetapi sekedar main kejar-kejaran di rumah disesuaikan dengan skill-nya. Atau jalan ke pasar dan sesekali lomba lari.

Atau secara motorik halus dia masih belum bisa mewarnai dengan halus, maka aktivitas mewarnai menjadi tugas yang sering dilakukan sebagai media exercises. Atau dari aspek bahasa/wicara, kosakata untuk jenis kata tertentu masih perlu dikembangakan, maka dalam keseharian saya akan banyak menggunakan kosakata target tersebut atau meminta anak saya mengulang-ulang target bahasa tersebut.

Yang keempat: susun prioritas target terapinya, dan ini jelas palin

g “sulit dan kontroversial”, hehe. Saya secara pribadi bukanlah orang yang terstruktur dan berdisiplin tinggi. No no. not me! Maka akan lebih mudah bagi saya, jika saya punya prioritas bernomor tersebut untuk memandu saya tidak kehilangan arah dan fokus. Klise memang, tapi yaa begitulah, sometimes lives is cliché! Ketika hari-hari saya demikian melelahkan dan tidak sempat melakukan terapi, memelihara rasa bersalah tidak menguntungkan buat saya dan anak saya. So, saya hanya akan mengingat nomor prioritas. Dari sekian aktivitas bernomor saya akan melakukan aktivitas nomor satu saja, untuk situasi tersebut.

Yang kelima: evaluasi dan temukan teman diskusi yang tepat dan “beragam” namun tetap buka kemungkinan lain. Selalu terbuka dengan informasi baru dan evaluasi dengan optimal. Kadang2 terlalu lama berpikir waktu keburu berlalu, tetapi bertindak tanpa mengevaluasi juga mungkin tidak efisien. Keduanya paradoks sekaligus keduanya eksis dalam kehidupan, setidaknya di saya, hehe. Pada akhirnya, apapun yang kita lakukan adalah tanggung jawab kita. Tetapi definisi tanggung jawab yang saya maksud bukan berarti Anda menanggung beban yang berat yang tidak sehar

usnya. Definisi tanggung jawab yang saya maksud adalah ketika kita memutuskan apa yang kita lakukan

haruslah sesuatu yang tidak-boleh-tidak, harus selalu dievaluasi dan diperbaharui terus menerus.

Saya rangkum ya,

  • Saya mengevaluasi semuanya, Saya tentukan prioritas lagi
  • Jika akar tidak optimal hampir bisa mengganggu keseluruhan
  • Tentukan aktivitas dasar dan penunjang
  • Susun prioritas aktivitas bernomor
  • Evaluasi dan temukan teman diskusi yang tepat dan “beragam” (terapis, psikolog, guru, sesama ortu, dsb)

Salaam,

Semoga bermanfaat.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll to top
WhatsApp Chat with Us