Baiklah, Buibuuuu… Seperti Chef Harada, ya. Kali ini Saya akan mencurahkan opini Saya mengenai SIGN LANGUAGE yang dalam padanan bahasa Indonesia disebut sebagai BAHASA ISYARAT. Berikut beberapa kutipan definisi sebagai pembuka tulisan ini ya.
Dalam KBBI Edisi Kelima (2016, hal. 149): Bahasa Isyarat adalah antropologi bahasa yang tidak menggunakan bunyi ucapan manusia atau tulisan dalam sistem perlambangannya.
Dalam Merriam-Webster Children’s Dictionary (2015: hal. 735): (Sign is) a motion, action, or movement of the hand that means something {The teacher made a sign for them to be quite.}
Dalam The Terminology of Communication Disorders Speech Language Hearing, Edisi Ketiga (1989, hal. 142): Sign Language means of communication for the deaf in which gestures perform the function of words.
Sign language: sign language allows people who are deaf, hard of hearing, or unable to speak, to communicate.
Dalam Beyond Baby Talk (: hal. 4): (the use of) sign language to convey their thought and ideas. In this case, then, the aspect of language that involves speech sounds is replaced by the system of hand gestures, movements, and placement around the body.
Kutipan-kutipan di atas Saya sertakan sebagai pembuka. Untuk mengingatkan gagasan awalnya bahwa Sign Language atau Bahasa Isyarat (selanjutnya Saya gunakan istilah b-isyarat) memang pada mulanya banyak digunakan di populasi individu dengan gangguan pendengaran. Sehingga tidak jarang orangtua yang saya temui, mungkin bisa saya katakan, hampir seluruh orangtua merespon tentang ide b-isyarat sebagai pertanda bahwa “Jika anak saya menggunakan b-isyarat nanti kemampuan bicaranya jadi tidak berkembang”. Padahal kan pergi ke terapis wicara agar anaknya bisa bicara.
Biasanya untuk membuka persepsi, Saya akan memberikan analogi dengan sebuah cerita: Saya secara ajaib dan tiba-tiba berada di Kota Smolensk, yang terletak di sepanjang sungai Dnepr, Rusia. Saya tidak tahu sepatah kata pun bahasa Rusia. Dan tiba-tiba Saya merasa lapar, dan ingin makan mie rebus lengkap dengan potongan cengek (cabe hijau kecil khas babang gorengan), tidak lupa sepiring kerupuk renyah atau kacang sukro. Eh! Jadi laper deh.
Kira-kira, jika Saya akan bertanya ke warga sekitar yang tidak bisa berbahasa Indonesia (eit, deh, ceritanya ditail banget, capek bacanya nih, hehe). Apa yang secara alamiah akan dilakukan dalam rangka berkomunikasi? Oke, singkat cerita, tentu saja Saya akan menggunakan gestur untuk menunjukkan Saya lapar. Dan jika kesulitan untuk membuat gestur mie, kerupuk dan cengek, maka Saya akan menggunakan gambar. Yaa, setidaknya, menggambar mie akan membuat ide saya tersampaikan lebih efisien daripada menciptakan gestur untuk kata mie.
Tetapi jika dalam 24 jam Saya bisa menguasai kosakata mie, kerupuk dan cengek dalam bahasa Rusia, apakah Saya akan menggunakan gestur atau verbal? Tentu saja, Saya akan menggunakan verbal. Kenapa? Karena lebih praktis menggunakan verbal dari pada menggunakan gestur.
Oke, ide yang ingin Saya sampaikan disini adalah:
Kemampuan verbal (jika memang berkembang kemudian) sangat mungkin cenderung tidak akan terhambat hanya karena kita menggunakan isyarat. Dalam hal ini isyarat digunakan sebagai bridge atau jembatan untuk mengekspresikan bahasa anak melalui jalur transmitter komunikasi ke-dua (tangan). Jalur trasnmitter komunikasi pertama adalah oral/ verbal.
Tunggu, tunggu! Ada bukti lain enggak, bahwa pernyataan di atas benar?
Ini yang susah dijawab. Karena kalau dijabarkan secara menyeluruh, tulisan ini jadi panjang, hehe.
Oke, tulisan ini akan bersambung. Dan Saya akan berusaha menuliskannya dengan ringkas di tulisan berikutnya. Sabar ya.
Salaam,
Pipit