Video Call Therapy – Apakah dan Bagaimana?

  1. Apakah yang disebut dengan Video Call Therapy (VCT)?
  • Adalah proses terapi yang dilakukan secara online. Berbeda dengan teknik tatap muka sebelumnya, pada VCT yang melakukan dan mengarahkan anak dalam aktivitas terapi adalah orangtua atau pendamping anak.

 

  1. Adakah yang harus dipersiapkan di rumah?
  • Hal ini diinformasikan langsung oleh terapis yang bersangkutan.
  • Sebagian besar kasus khususnya terapi wicara yang menjadi ciri khas di Thepita adalah kasus dengan isu dan penanganan sensomotorik oral, sehingga jika memiliki alat-alat terapi oral sebaiknya disediakan terlebih dahulu, demikian juga dengan makanan/minuman yang digunakan sebagai media terapi.
  • Sedangkan untuk kebutuhan terapi motorik, yaitu dengan memanfaatkan peralatan yang ada di rumah, se-praktis mungkin dengan tetap memperhatikan tujuan dari aktivitas yang dilakukan.

 

  1. Berapa biayanya?
  • Kami mengacu pada biaya VCT yang sebelumnya berjalan, yaitu sesuai dengan biaya tatap muka di Thepita secara umum.

 

  1. Mengapa berbiaya sama, padahal yang melakukan aktivitas adalah orang di rumah, bukan terapis langsung?
  • Selama ini, penentuan biaya terapi yang umum berlaku adalah berdasarakan durasi waktu atau per sesi terapi. Sehingga anggapannya adalah durasi dari waktu yang berjalan. Selain itu, (maaf) proses terapi tatap muka dan VCT bagi terapis adalah sama-sama proses terapi (observasi, analisa, dan penentuan aktivitas, dan strategi terapi). Terkait bahwa yang dominan mengambil peran pelaksana adalah orang rumah, maka hal ini belum bisa kami tentukan saat ini. Mungkin bisa menjadi bahan diskusi bagi kami secara pribadi dan mungkin secara umum di regulasi organisasi terapis.

 

  1. Susah juga ya, mengarahkan anak agar mau melakukan aktivitas terapinya?
  • Memang benar, ketika kita bisa mengarahkan anak dalam waktu relatif singkat, dan lalu anak-anak langsung nurut, itu sangat mudah.
  • Maafkan, saya bercerita agak panjang, oke!
  • Pada teknik yang lebih teratur/disiplin/efisien dimana anak “dituntut” untuk langsung nurut, sebut saja ini adalah strategi behavioristik, yaitu strategi pembiasaan dengan mengacu pada cara-cara umum yang berlaku yaitu “anak harus nurut, mengikuti arahan dengan cepat”. Kami pun masih menggunakan strategi behavioristik dalam situasi tertentu, karena bagaimana pun jika proses terapi berlangsung mulus seperti itu, sungguh mudah bukan!
  • Nah, dalam pelaksanaan terapi kami juga mengacu pada strategi humanistik, yaitu konsep yang sering juga disebut “memanusiakan manusia”. Bahwa manusia memiliki kehendaknya sendiri, afeksi dan kegembiraan. Atas dasar pemikiran humanistik inilah kami “memberikan kebebasan” pada anak untuk menumbuhkan prosesnya dengan menjaga afeksi (perasaan) anak tetap “merasa baik/nyaman/enak”.
  • Ini pun disesuaikan berdasarkan usia kemampuannya, meskipun anak berusia cukup besar misal usia kalendernya 5 tahun, namun jika secara kemampuan/perkembangan anak masih dominan berkemampuan seperti anak 2 – 3 tahun, otomatis aktivitas dan perlakuan yang diberikan akan mengacu pada usia perkembangan, bukan usia kalender. Sehingga meskipun anak berbadan besar, perlakuannya lebih humanistik daripada behavioristik.
  • Misal, pun kita melakukan behavioristik (instruksi langsung) dalam sesi terapi, tetap saja hal tersebut tidak bisa dilakukan sepanjang sesi tanpa di jeda dengan permainan yang disukai. Karena bagaimanapun, seperti yang dikatakan oleh Montessori bermain adalah pekerjaan utama anak-anak.

 

  1. Sulit untuk mengatur mood-nya supaya tetap baik, jadi penerapan aktivitas terapinya enggak bisa dilakukan. Bisakah berganti program atau aktivitas?
  • Ada kondisi yang sudah kita kenal sebagai gangguan sensomotorik. Nah, pada anak-anak kita yang memiliki karakter gangguan sensomotorik, “otomatis” caranya menerjemahkan dunia masih berbeda dari anak-anak lain yang tipikal (tidak memiliki gangguan). Istilah orantua yang sering muncul dalam proses ngobrol/anamnesa adalah “kalau udah maunya, dia keras; gigih; keukeuh; ambekan; kalau kotor enggak mau; harus bersih; harus dingin pakai AC kalau enggak dia rungsing” atau apapun yang menggambarkan perilaku/emosi yang cenderung menonjol dibandingkan anak pada umumnya.
  • Istilah tipikal dan atipikal, normal dan abnormal, anak normal atau anak bergangguan, adalah istilah-istilah yang terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, dan kesetaraan hak asasi, dll. Sehingga penggunaan istilah banyak berbeda-beda. Abnormal diganti atipikal, dan ABK (anak berkebutuhan khusus) diganti IBK (individu berkemampuan khusus), istilah disable (disability) diganti menjadi difable (different ability) ini adalah istilah yang digunakan.
  • Istilah tersebut untuk menggambarkan bahwa perilaku anak berbeda dari perilaku umumnya. Contohnya begini, di sekolah, saat ada arahan dari guru harus mengerjakan ini bla bla bla la la la li li li, dalam situasi wajar/normal, maka kebanyakan anak bisa mengerjakan tugas tersebut. Itu anak tipikal atau “normalnya” sehingga jika ada anak yang tidak bisa mengikuti dengan baik, sebutlah dia anak atipikal: yaitu anak yang cenderung berperilaku/emosi yang tidak umum.
  • Sehingga, bukankah lebih wajar, jika anak kita tidak mudah diarahkan, kalau mengerjakan sesuatu iklannya banyak, dll. Anak saya sendiri adalah anak dengan gangguan yang kompleks termasuk perilakunya yang oposisional (keras kepala, semaunya sendiri). Sehingga, saya tahu rasanya bagaimana. Disini saya hanya bisa berbagi ide “hehe, bersabarlah, ikuti dulu maunya, sambil kita menganalisa perilaku/kebiasaan/kesukaan/karakternya supaya kita bisa paham dan perlahan-lahan “mudah” untuk memasukkan ide/tugas terapi ke dalamnya”.

 

Salaam,

Pipit

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Scroll to top
WhatsApp Chat with Us